Jumat, 09 April 2010

SISTEM EKONOMI ISLAM

2.1 SISTEM EKONOMI ISLAM
2.1.1 Pandangan Islam Terhadap ekonomi
Pandangan Islam terhadap masalah kekayaan berbeda dengan pandangan Islam terhadap masalah pemanfaatn kekayaan. Menurut Islam, sarana-sarana yang memberikan kegunaan (utility) adalah masalah tersendiri, sedangkan perolehan kegunaan (utility) adalah masalah lain. Karena itu, kekayaan dan tenaga manusia, dud-duanya merupakan kekayaan, sekaligus sarana yang bisa memberikan kegunaan (utility) atau manfaat. Sehingga, kedudukan kedua-duanya dalam pandangan Islam, dari segi keberadaan dan produksinya dalam kehidupan, berbeda dengan kedudukan pemanfaatan serta tata cara perolehan manfaatnya.
Karena, Islam juga ikut campur tangan dalam masalah pemanfaatan kekayaan dengan cara yang jelas. Islam, misalnya mengaharamkan pemanfaatan beberapa bentuk harta kekayaan, semisal khamer dan bangkai. Sebagaimana Islam juga mengharamkan pemanfaatan beberapa tenaga manusia, seperti dansa (tari-tarian) dan pelacuran. Islam juga mengaharamkan menjual harta kekayaan yang haran untuk dimakan, serta mengharamkan menyewa tenaga untuk melakukan sesuatu yang haram dilakukan. Ini dari segi pemanfaatan harta kekayaan dan pemanfaatan tenaga manusia. Sedangkan dari segi tata cara perolehannya, Islam telah mensyariatkan hukum-hukum tertentu dalam rangka memperoleh kekayaan, seperti hukum-hukum berburu, menghidupkan tanah mati, hukum-hukum kontrak jasa, industri, serta hukum-hukum waris, hibbah, dan wasiat.
Sedangkan yang berkiatan dengan kakayaan itu sendiri, dari segi memporoduksinya, Islam telah mendorong dan memacu agar memproduksi sebanyak-banyaknya, sebagaimana ketika Islam memacu agar bekerja. Smentara itu, Islam juga sama sekali tidak ikut campur dalam menjelaskan tata cara untuk meningkatkan produksi, termasuk kemampuan produksinya. Justru, Islam telah membiarkan manusia untuk melaksanakan dengan sesuka hatinya.

Kemudian, dari segi keberadaannya, harta kekayaan tersebut sebenarnya terdapat dalam kejidupan ini secra alamiah, dimana Allah Swt.telah menciptakannya untuk diberikan kepada manusia. Allah Swt.berfirman ;
“Dialah yang menciptakan untuk kalian semua, apa saja yang ada di bumi.” (Qs. Al-Baqoroh:29)
“Allahlah yang telah menundukkan untuk kalian lautan, agar bahtera bisa berjalan di atasnya dengan kehendak-Nya, juga agar kalian bisa mengambil kebaikannya.” (Q.s Al-Jatsiyat:12)
“ Dan (Dialah) yang menundukkan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.” (Qs.Al-Jastiyat:13)
“Maka, hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya, Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun-kebun yang lebat, dan buah-buahan serta rumput-rumputan, untuk kesenanganmu dan binatang-binatang ternakmu.” (Qs. Abasa:24-32)
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu. Guna memelihara kamu dalam peperanganmu.”(Qs. Al-Anbiya:80)
“Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu).” (Qs.Al-Hadid:25).
Di dalam ayat-ayat ini serta ayat-ayat yang lain serupa, Allah telah menjelaskan , bahwa Dia-lah yang menciptakan harta kekayaan dan tenaga manusia, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan hal-hal lain. Semuanya ini menunjukkan, bahwa Allah Swt.tidak ikut campur dalam masalah harta kekayaan, termasuk dalam masalah tenaga manusia, selain menjelaskan bahwa Dia-lah yang telah menciptakannya agar bisa dimanfaatkan oleh manusia. Begitu pula, Allah tidak ikut campur dalam menentukan masalah bagaimana memproduksinya. Bahkan, tidak ada satu syara’ pun yang menjelaskan bahwa Islam ikut campur dalam menentukan maslah bagaimana memproduksi kekayaan tersebut, justru sebaliknya. Kita malah menemukan banyak nash syara’ menjelaskan, bahwa syara’ telah menyerahkan masalah tersebut kepada manusia agar menggali kekayaan tersebut, juga agar memperbaruhi tenaga manusia. Telah diriwayatkan, bahwa Nabi SAW.pernah bersabda dalam masalah penyerbukan kurma:
“Kalianlah yang lebih tahu tentang (urusan)dunia kalian.”
Juga terdapat riwayat hadist, bahwa Nabi Saw.telah mengutus dua kaum muslimin untuk berangkat ke pandai besi Yaman, untuk mempelajari industri persenjataan. Semuanya ini menunjukkan, bahwa kekayaan tersebut kepada manusia, agar mereka mempoduksinya sesuai dengan keahlian dan pengetahuan mereka.
Oleh karena itu, amatlah jelas bahwa Islam telah memberikan pandangan (konsep) tentang sistem ekonomi, sementara tentang ilmu ekonomi tidak. Dan Islam telah menjadikan pemanfaatan kekayaan serta mekanisme perolehan menfaat (utility) tersebut sebagai masalah yang dibahas- di dalam sistem ekonomi. Sementara, secara mutlak Islam tidak menyinggung masalah bagaimana cara memproduksi kekayaan dan faktor produksi yang bisa menghasilkan kekayaan.
(M.Abdullah:2001:50-52)

2.1.2 Asal-Usul Ekonomi Islam
Prinsip fundamental ekonomi Islam bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Tafsiran dan penafsiaran kembali asas-asas ini (yang mengatur berbagai pokok persoalan) seperti nilai, pembagian kerja, sistem harga dan konsep “harga yang adil”, kekuatan permintaan dan penawaran, konsumsi dan produksi, pertambahan penduduk, pengeluaran dan perpajakan pemerintah, peran negara, rumah tangga, monopoli, dan sebagainya, oleh sejumlah cendikiawan dan ahli ekonomi Islam telah diberi dasar operasional ilmu ekonomi Islam dan kesinambungan ide-ide ekonominya sejak mula-mulanya Islam. Sarjana-sarjana Muslim seperti Abu Yusuf (731-798), Yahya Ibn Adam (meninggal 818), Ibn Taimiya (1262-1328), Ibn Khalud (1332-1406), Al-Ghazali (1059-1111) dan banyak lagi yang lainnya yang telah menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi.(M.Abdul Mannan.1997:24)
Gagasan Ibn Taimiya tentang “harga ekuivalen”, pengertiannya terhadap ketidaksempurnaan pasar dan pengendalian harga, tekanannya pada peranan negara untuk menjamin dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat, dan gagasannya mengenai hak milik, memberikan sejumlah petunujk penting tentang teori kebijakan ekonomi Islam pada zaman kita sendiri. (M.Abdul Mannan.1997:24)
Sedangkan Ibn Khalud, cendikiawan Arab termasyur dari Tunisia, yang di seluruh dunai diakui sebagai bapak Ilmu Pengetahuan Sosial, telah memberikan definisi bagi ilmu ekonomi yang lebih luas ruang lingkupnya dari pada definisi Tusi. Dibandingkan dengan banyak ahli ekonomi yang kemudian ia telah dapat melihat dengan jelas hubungan erat antara ilmu ekonomi dan kesejahteraan manusia.
Referensinya tentang “ketentuan akal dan etika” memperlihatkan bahwa dia menggangap ilimu ekonomi sebagai ilmu pengetahuan yang positif maupun normative. Selanjutnya digunakannya kata “massa” (al-jambur) menunjukkan kenyataan bahwa maksud mempelajari ilmu ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan massa, bukannya kesejahteraan individu. (M.Abdul Mannan.1997:24)
Secara keseluruhan, para cendikiawan muslin pada umumnya dan Ibn khalud pada khususnya dapatlah dianggap sebagai pelopor perdagangan fisiokrat dan penulis klasik (seperti misalnya, Adam Smith, Ricardo, Mathlus) dan penulis neo-klasik(misalnya Keynes).

2.1.3 Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi Islam muncul sebagai suatu disiplin ilmu, setelah melalui serangkaian perjuangan yang cukup lama, yang pada awalnya terjadi pesimisme terhadap ekonomi Islam. Terciptanya suatu pandangan bahwa terdapatnya dikotomi antara agama dengan keilmuan –dalam hal ini ilmu ekonomi-. Namun sekarang hal ini sudah mulai terkikis. Dan para ekonom barat pun sudah mulai mengakui eksistensi dari Ekonomi Islam sebagai suatu ilmu ekonomi yang memberi warna kesejukan dalam perekonomian dunia. Dimana ekonomi Islam dapat menjadi suatu sistem ekonomi alternatif, disamping sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan dari umat.
Pendefinisian tentang apakah ekonomi Islam itu berbeda antara ahli satu dengan ahli yang lainnya. Hasanuz Zaman dalam bukunya “Economic Function of an Islamic State (1984)” memberikan definisi: “Islamic Economic is the knowledge and applications and rules of the shariah that prevent injustice in the requisition and disposal of material resources in order to provide satisfaction to human being and enable them to perform they obligations to Allah and the society”(http://md-uin.blogspot.com)
Sedangkan M N Siddiqi dalam bukunya “Role of State in the Economy (1992)” memberikan definisi: “Islamic economics is ‘the moslem thinker’ response to the economic challenges of their times. In this endeavor they were aided by the Qur’an and the Sunnah as well as by reason and experience”.
Syed Nawab Heider Naqvi dalam bukunya “Islam, Economics, and Society (1994)” memberikan rumusan: “Islamic economics is the representative Moslem’s behaviour in a typical moslem society”. Masih banyak lagi para ahli yang memberikan definisi tentang apa itu ekonomi Islam, namun penjelasan lebih menyeluruh tentang apa itu ekonomi Islam tergambar dalam rancang bangun ekonomi Islam. Sehingga ekonomi Islam dapat didefinisikan sebagai suatu prilaku individu muslim dalam setiap aktivitas ekonomi syariahnya harus sesuai dengan tuntunan syariat Islam dalam rangka mewujudkan dan menjaga maqashid syariah (agama, jiwa, akal, nasab, dan harta).
(http://md-uin.blogspot.com)

2.1.4.Ciri-Ciri Ekonomi Islam
1. Melibatkan Tuhan
Orang Islam berekonomi dengan niat kerana Allah dan mengikut peraturan dan hukum-hukum Allah Ta’ala. Matlamatnya ialah untuk mendapat ridho dan kasih sayang Allah. Syariat lahir dan batin ditegakkan dan hati tidak lalai dari mengingati Tuhan. Aktivitas berniaga dianggap zikir dan ibadah kepada Allah SWT. Ia adalah jihad fisabilillah dan menjadi satu perjuangan untuk menegakkan Islam dan mengajak manusia kepada Tuhan. Sesibuk manapun berniaga, Allah SWT tidak dilupakan. Berekonomi dan berniaga secara Islam adalah di antara jalan untuk menambah bekalan taqwa.

2. Berlandaskan Taqwa
Kegiatan ekonomi dalam Islam merupakan jalan untuk mencapai taqwa dan melahirkan akhlak yang mulia. Ini adalah tuntutan Tuhan. Kalau dalam sistem ekonomi kapitalis, modalnya uang untuk mendapatkan uang, tetapi dalam ekonomi Islam modalnya taqwa untuk mendapatkan taqwa.
Dalam Islam, berekonomi adalah untuk memperbesar, memperpanjang dan memperluaskan syariat Tuhan. Ekonomi itu jihad dan ibadah. Oleh itu tidak boleh terkeluar dari konsep dan syarat-syarat ibadah. Niatnya, perlaksanaannya dan natijahnya kena betul. Kegiatan ekonomi atau perniagaan yang dibuat itu tidak haram dan tidak melibatkan perkara-perkara yang haram. Ibadah asas seperti solat, puasa dan sebagainya tidak boleh ditinggalkan. Kalau solat ditinggalkan, ibadah berekonomi sepertimana juga ibadah-ibadah yang lain akan dengan sendirinya tertolak.
Hasil dari ekonomi yang berlandaskan taqwa, akan lahir ukhuwah dan kasih sayang, kemesraan, bertolong bantu, bersopan santun, mendahulukan kepentingan orang lain dan berbagai-bagai lagi sifat-sifat yang luhur. Premis perniagaan berasaskan taqwa adalah pusat bina insan yang cukup praktikal dan menguntungkan.
Semua yang terlibat dengan kegiatan ekonomi Islam ini akan menjadi tawadhuk dan rendah diri. Akan terhapus penindasan, penekanan, penzaliman dan ketidakadilan. Tidak ada krisis, pergaduhan dan jenayah. Ketakutan dan kebimbangan akan lenyap. Akhirnya masyarakat jadi aman, damai dan hidup penuh harmoni.
Ekonomi Islam lebih mementingkan sifat taqwa daripada modal kewangan yang besar. Ilmu, pengalaman, kemahiran, kekayaan alam semulajadi dan sebagainya. Orang bertaqwa itu dibantu Tuhan seperti dalam firman-Nya maksudnya:
“Allah itu pembela bagi orang-orang yang bertaqwa” (Al Jasiyah: 19).
Orang yang bertaqwa itu, usahanya sedikit tetapi hasilnya banyak. Apatah lagi kalau usahanya banyak. Kalau orang yang bertaqwa menghadapi masalah, Allah akan mengadakan baginya jalan keluar dan dia diberi rezeki oleh Allah dari sumber-sumber yang tidak disangka-sangka.
3. Penuh Suasana Kekeluargaan
Dalam premis perniagaan Islam di mana ada tuan punya atau pengurus dan pekerja, terjalin kemesraan dan kasih sayang seperti dalam satu keluarga. Pengurus seperti ayah. Penyelia-penyelia seperti kakak dan abang. Para pekerja seperti anak. Ayah menjaga keperluan lahir batin anak-anak. Ini termasuk didikan agama, makan minum, keselamatan, kesihatan, pakaian, tempat tinggal, kebajikan dan sebagainya.
4. Penuh Kasih Sayang
Islam menganggap berekonomi itu ibadah. Iaitu ibadah menerusi khidmat kita kepada sesama manusia. Manusialah yang Tuhan tuntut supaya kita berkasih sayang dengan mereka.
Justru itu, pelanggan dan ahli-ahli masyarakat tidak dilihat seperti orang lain bahkan saudara-mara. Pelanggan yang datang kepada premis perniagaan dilayan sebaik mungkin seperti tetamu. Mereka datang membawa rahmat dan kembalinya menghapuskan dosa. Pelangganlah tempat mereka mencurah bakti dan khidmat. Pelanggan jugalah orang yang membantu mereka memperbaiki dan mendidik hati. Oleh itu, pelanggan sungguh mahal dan sungguh istimewa. Mereka diberi kemesraan dan kasih sayang. Berbakti dan berkhidmat bukan setakat memberi pelanggan apa yang mereka mahu. Ia termasuk pembelaan dan kebajikan. Kalau ada pelanggan yang memerlukan barangan dan khidmat tetapi nyata tidak mampu membayar harganya, demi Tuhan yang mengurniakan kasih sayang, dia dibolehkan membayar ikut sesuka hatinya. Kalau dia fakir dan miskin hingga tidak mampu bayar langsung, maka menjadi tanggungjawab pihak yang berniaga pulalah untuk memberikan keperluannya itu dengan percuma. Tuhanlah yang akan membayarkan untuknya. Inilah ekonomi taqwa dan kasih sayang.
Dalam ekonomi kapitalis, tidak ada kasih sayang. Mereka hanya mahukan duit para pelanggan. Jangankan hendak membantu manusia, bahkan mereka sanggup menyusahkan, menekan, menindas dan menipu manusia demi untuk mengejar keuntungan.
5. Keuntungan Perniagaan untuk Masyarakat
Dalam ekonomi Islam, keuntungan ada dua bentuk. Satu adalah keuntungan maknawi dan satu lagi keuntungan maddi (material). Islam mengajar ahli ekonomi dan peniaganya untuk mengutamakan untung maknawi daripada untung material. Kalaupun ada keuntungan material, ia perlu dihalakan semula dan diperguna untuk kepentingan masyarakat. Islam tidak menganjurkan keuntungan material ditumpu kepada diri sendiri, keluarga, kelompok atau golongan. Keuntungan boleh diambil sekadar perlu tetapi selebihnya mesti dikembalikan kepada Tuhan melalui bantuan kepada fakir miskin dan masyarakat. Inilah apa yang dikatakan bersyukur.
Ekonomi Islam lebih mementingkan khidmat kepada masyarakat daripada mengumpulkan keuntungan material yang besar. Keuntungan material kalaupun ada, perlu disalurkan semula kepada masyarakat.
6. Tidak ada Hutang Berunsur Riba’
Islam tidak membenarkan riba. Iaitu pinjaman berfaedah (berbunga) tetap untuk jangka masa yang tertentu. Islam ada cara tersendiri untuk menjana model dan kewangan. Antaranya ialah mudharabah, musyarakah, berkorban dan sebagainya. (http://timudilah.wordpress.com)









2.1.5 Sumber Hukum Ekonomi Islam
HAKIKAT HUKUM EKONOMI
Hukum ekonomi adalah pernyataan mengenai kecenderungan suatu pernyataan hubungan sebab akibat antara dua kelompok fenomena. Semua hukum ilmiah adalah hukum dalam arti yang sama. Tetapi, hukum-hukum ilmu ekonomi tidak bisa setepat dan seakurat seperti dalam hukum ilmu-ilmu pengetahuan alam (eksak). Hal ini disebabkan oleh alasan-alasan berikut: Pertama, ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan sosial, dengan demikian harus mengendalikan banyak orang yang dikendalikan oleh banyak motif. Kedua, data ekonomi tidak saja banyak jumlahnya, tetapi data itu sendiri bisa berubah. Ketiga, banyak faktor yang tidak dapat diketahui dalam situasi tertentu.
“Hukum-hukum ekonomi”, tulis Seligman dalam karyanya Principles of Economics, “pada hakikatnya bersifat hipotetik”. Semua hukum ekonomi memuat isi anak kalimat bersyarat sebagai berikut “hal-hal lain diasumsikan sama keadaannya (ceteris paribus)”, yakni kita beranggapan bahwa dari seperangkat fakta-fakta tertentu, akan menyusul kesimpulan-kesimpulan tertentu jika tidak terjadi perubahan pada faktor-faktor lain pada waktu yang bersamaan. Hal ini berbeda dengan hukum pada ilmu eksak yang bisa dilakukan eksperimen tanpa perlu membuat suatu asumsi. Namun hal itu tidak berarti karena hukum ekonomi bersifat hipotetis, lalu ia tidak nyata dan tidak berguna. Lagipula, semua hukum ekonomi pada hakikatnya tidak hipotetik. Ilmu ekonomi, tidak seperti cabang-cabang ilmu pengetahuan sosial lainnya, mempunyai pengukur bersama dari motif-motif manusia dalam bentuk uang. (http://md-uin.blogspot.com)

SUMBER HUKUM EKONOMI ISLAM
Ada berbagai metode pengambilan hukum (istinbath) dalam Islam, yang secara garis besar dibagi atas yang telah disepakati oleh seluruh ulama dan yang masih menjadi perbedaan pendapat, dimana secara khusus hal ini dapat dipelajari dalam disiplin ilmu ushl fiqh. Dalam buku ini hanya akan dijelaskan metode pengambilan hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama, terdiri atas Al-qur’an, hadits & sunnah, ijma, dan qiyas.
a). Al-Qur’an
Sumber hukum Islam yang abadi dan asli adalah kitab suci Al- Qur’an. Al-Qur’an merupakan amanat sesungguhnya yang disampaikan Allah melalui ucapan Nabi Muhammad saw untuk membimbing umat manusia. Amanat ini bersifat universal, abadi dan fundamental. Pengertian Al-Qur’an adalah sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw (baik isi maupun redaksi) melalui perantaraan malaikat Jibril. Akan tetapi, terjadi salah pengertian di antara beberapa kalangan terpelajar Muslim dan non Muslim mengenai arti sebenarnya dari kitab suci Al Qur’an. Anggapan mereka bahwa Al Qur’an itu diciptakan oleh Nabi Muhammad saw dan bukan firman Allah SWT. Anggapan mereka ini salah besar, sebab Al Qur’an itu merupakan firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Lagipula tidak mungkin Nabi Muhammad saw yang tidak bisa baca dan tulis (ummi mampu menulis Al Qur’an yang bahasanya indah dan penuh dengan makna.
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk menjadikan Al Qur’an itu sebagai pedoman hidup kita agar tidak tersesat dari jalan yang lurus. Pedoman hidup ini bukan saja hanya dalam ibadah ritual semata, melainkan juga diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengamalkan ilmu Allah itu, Allah akan mencurahkan rahmatnya kepada kaum tersebut. Dan alangkah beruntungnya umat Islam yang menjalankan syariat Islam dengan sungguh-sungguh dalam setiap aktivitas perekonomian akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga dalam setiap penarikan dan pembuatan hukum ekonomi haruslah mencari rujukan terlebih dahulu di dalam Al-Qur’an apakah hal tersebut dilarang oleh syariah atau tidak. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an mengenai hukum ekonomi yang ingin kita tarik kesimpulan, maka kita dapat mencarinya dalam sumber hukum Islam yang lain yaitu dalam Hadits dan Sunnah. Fungsi dan peranan Al-Qur’an yang merupakan wahyu Allah adalah sebagai mu’jizat bagi Rasulullah saw; pedoman hidup bagi setiap muslim; sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya; dan bernilai abadi serta universal yang dapat diaplikasikan oleh seluruh umat manusia.
b). Hadist dan Sunnah
Dalam konteks hukum Islam, sunnah yang secara harfiah berarti “cara, adat istiadat, kebiasaan hidup” mengacu pada perilaku Nabi Muhammad saw yang dijadikan teladan. Sunnah sebagian besar didasarkan pada praktek normatif masyarakat di jamannya. Pengertian sunnah mempunyai arti tradisi yang hidup pada masing-masing generasi berikutnya. Suatu sunnah harus dibedakan dari hadits yang biasanya merupakan cerita singkat, yang pada pokoknya berisi informasi mengenai apa yang dikatakan, diperbuat, disetujui, dan tidak disetujui oleh Nabi Muhammad saw, atau informasi mengenai sahabat-sahabatnya. Karena itu hadits adalah sesuatu yang bersifat teoritik, sedangkan sunnah adalah pemberitaan sesungguhnya. Namun kita tidak usah terlalu memperdebatkan antara perbedaan hadits dan sunnah, karena secara substansi keduanya sama. Hadits dan sunnah ini hadir sebagai tuntunan pelengkap setelah Al Qur’an yang menjadi pedoman hidup umat Muslim dalam setiap tingkah lakunya. Dan menjadi sumber hukum dari setiap pengambilan keputusan dalam ilmu ekonomi Islam. Hadits dapat menjadi pelengkap serta penjelas mengenai hukum ekonomi yang masih bersifat umum maupun yang tidak terdapat di Al-Qur’an.
Hubungan sunnah dengan Al-Qur’an yaitu : (1) bayan tafsir, dimana sunnah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; (2) bayan taqriri, yaitu sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan dalam ayat-ayat Al-Qur’an; (3) bayan taudih, sunnah menerangkan maksud dan tujuan sesesuatu ayat dalam Al-Qur’an. Berdasarkan kualitas sanad maupun matan hadits mempunyai tingkatan dari shahih, hasan dan dhaif. Dan berdasarkan jumlah perawi hadits mempunyai tingkatan dari mutawatir dan ahad.
c.Ijma
Ijma yang sebagai sumber hukum ketiga merupakan konsensus baik dari masyarakat maupun dari cendekiawan agama. Perbedaan konseptual antara sunnah dan ijma terletak pada kenyataan bahwa sunnah pada pokoknya terbatas pada ajaran-ajaran Nabi dan diperluas pada sahabat karena mereka merupakan sumber bagi penyampaiannya. Sedangkan ijma adalah suatu prinsip hukum baru yang timbul sebagai akibat dari penalaran atas setiap perubahan yang terjadi di masyarakat, termasuk dalam bidang ekonomi.
Ijma merupakan faktor yang paling ampuh dalam memecahkan kepercayaan dan praktek rumit kaum Muslimin. Ijma ini memiliki kesahihan dan daya fungsional yang tinggi setelah Al Qur’an dan Hadits serta sunnah. Karena merupakan hasil konsensus bersama para ulama yang ahli di bidangnya, sehingga ijma hanya dapat diakui sebagai suatu hukum apabila telah disepakati oleh para ulama yang ahli. Akan tetapi ada beberapa pihak yang seringkali meragukan hasil ijma ulama, dan lebih cenderung mempercayai hasil pengambilan hukum oleh sendiri meskipun pengambilan hukum tersebut seringkali salah. Hal inilah yang saat ini banyak terjadi, dimana perkembangan pemikiran yang timbul banyak yang bertentangan dengan prinsip syariah.
d). Ijtihad atau Qiyas
Secara teknik, ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat. Pengaruh hukumnya ialah bahwa pendapat yang diberikannya mungkin benar, walaupun mungkin juga keliru. Maka ijtihad mempercayai sebagian pada proses penafsiran dan penafsiran kembali, dan sebagian pada deduksi analogis dengan penalaran. Di abad-abad dini Islam, Ra’y (pendapat pribadi) merupakan alat pokok ijtihad. Tetapi ketika asas-asas hukum telah ditetapkan secara sistematik, hal itu kemudian digantikan oleh qiyas. Terdapat bukti untuk menyatakan bahwa kebanyakan para ahli hukum dan ahli teologi menganggap qiyas sah menurut hukum tidak hanya aspekl intelektual, tetapi juga dalam aspek syariat. Peranan qiyas adalah memperluas hukum ayat kepada permasalahan yang tidak termasuk dalam bidang syarat-syaratnya, dengan alasan sebab ”efektif” yang biasa bagi kedua hal tersebut dan tidak dapat dipahami dari pernyataan (mengenai hal yang asli). Menurut para ahli hukum, perluasan undang-undang melalui analogi tidak membentuk ketentuan hukum yang baru, melainkan hanya membantu untuk menemukan hukum.