Selasa, 23 Maret 2010

KOMUNIKASI POLITIK

KOMUNIKASI POLITIK

A. Pengertian Komunikasi Politik
Secara sederhana, komunikasi politik (political communication) adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa dipahami sebagai komunikasi antara “yang memerintah” dan “yang diperintah”.
Mengkomunikasikan politik tanpa aksi politik yang kongkret sebenarnya telah dilakukan oleh siapa saja: mahasiswa, dosen, tukang ojek, penjaga warung, dan seterusnya. Tak heran jika ada yang menjuluki Komunikasi Politik sebagai neologisme, yakni ilmu yang sebenarnya tak lebih dari istilah belaka.
Dalam praktiknya, komunikasi politik sangat kental dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, dalam aktivitas sehari-hari, tidak satu pun manusia tidak berkomunikasi, dan kadang-kadang sudah terjebak dalam analisis dan kajian komunikasi politik. Berbagai penilaian dan analisis orang awam berkomentar sosal kenaikan BBM, ini merupakan contoh kekentalan komunikasi politik. Sebab, sikap pemerintah untuk menaikkan BBM sudah melalui proses komunikasi politik dengan mendapat persetujuan DPR.
Gabriel Almond (1960): komunikasi politik adalah salah satu fungsi yang selalu ada dalam setiap sistem politik. “All of the functions performed in the political system, political socialization and recruitment, interest articulation, interest aggregation, rule making, rule application, and rule adjudication,are performed by means of communication.”
Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan yang terjadi pada saat keenam fungsi lainnya itu dijalankan. Hal ini berarti bahwa fungsi komunikasi politik terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik.
Political communication is a process by which a nation’s leadership, media, and citizenry exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy. (Perloff).
Political communication is communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) which regulate human conduct under the condition of conflict (Dan Nimmo). Kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Cakupan: komunikator (politisi, profesional, aktivis), pesan, persuasi, media, khalayak, dan akibat.
Political communication is communicatory activity considered political by virtue of its consequences, actual, and potential, that it has for the funcioning of political systems (Fagen, 1966). Political communication refers to any exchange of symbols or messages that to a significant extent have been shaped by or have consequences for the political system (Meadow, 1980).
Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yakni menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa -”penggabungan kepentingan” (interest aggregation) dan “perumusan kepentingan” (interest articulation) untuk diperjuangkan menjadi public policy. (Miriam Budiardjo).
Jack Plano dkk. Kamus Analisa Politik: komunikasi politik adalah penyebaran aksi, makna, atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik, melibatkan unsur-unsur komunikasi seperti komunikator, pesan, dan lainnya. Kebanyakan komunikasi politik merupakan lapangan wewenang lembaga-lembaga khusus, seperti media massa, badan informasi pemerintah, atau parpol. Namun demikian, komunikasi politik dapat ditemukan dalam setiap lingkungan sosial, mulai dari lingkup dua orang hingga ruang kantor parlemen.
(Dikutip dari tulisan Uwes Fatoni, Dosen komunikasi Politik FDK UIN Bandung)
Mendefinisikan komunikasi politik memang tidak cukup hanya dengan menggabungkan dua definisi, “komunikasi” dan “politik”. Ia memiliki konsep tersendiri, meskipun secara sederhana merupakan gabungan dari dua konsep tersebut. Komunikasi dan politik dalam wacana ilmu pengetahuan manusia merupakan dua wilayah pencarian yang masing-masing dapat dikatakan relatif berdiri sendiri. Namun keduanya memiliki kesamaan-kesamaan sebab memiliki objek material yang sama yaitu manusia. Kesamaan objek material ini membuat kedua disiplin ilmu itu tidak dapat menghindari adanya pertemuan bidang kajian. Hal ini disebabkan karena masing-masing memiliki sifat interdisipliner, yakni sifat yang memungkinkan setiap disiplin ilmu membuka isolasinya dan mengembangkan kajian kontekstualnya. Komunikasi mengembangkan bidang kajiannya yang beririsan dengan disiplin ilmu lain, seperti sosiologi dan psikologi, dan hal yang sama berlaku pula pada ilmu politik (Syam, 2002:18).
Komunikasi politik secara keseluruhan tidak bisa dipahami tanpa menghubungkannya dengan dimensi-dimensi politik serta dengan segala aspek dan problematikanya. Kesulitan dalam mendefinisikan komunikasi politik terutama dipengaruhi oleh keragaman sudut pandang terhadap kompleksitas realitas sehari-hari. Kalaupun komunikasi dipahami secara sederhana sebagai “proses penyampaian pesan”, tetap saja akan muncul pertanyaan, apakah dengan demikian komunikasi politik berarti “proses penyampaian pesan-pesan politik.” Lalu apa yang disebut pesan-pesan politik itu? Berkenaan dengan hal ini, sebelum memahami konsep dasar komunikasi politik, perlu terlebih dahulu ditelurusi pengertian politik paling tidak dalam konteks yang menjadi masalah penelitian ini.
Politics, dalam bahasa Inggris, adalah sinonim dari kata politik atau ilmu politik dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Yunani pun mengenal beberapa istilah yang terkait dengan kata politik, seperti politics (menyangkut warga negara), polities (seorang warga negara), polis (kota negara), dan politeia (kewargaan). Pengertian leksikal seperti ini mendorong lahirnya penafsiran politik sebagai tindakan-tindakan, termasuk tindakan komunikasi, atau relasi sosial dalam konteks bernegara atau dalam urusan publik. Penafsiran seperti ini selaras dengan konsepsi seorang antropolog semisal Smith yang menyatakan bahwa politik adalah serangkaian tindakan yang mengaarahkan dan menata urusan-urusan publik (Nie dan Verb, 1975:486). Selain terdapat fungsi administratif pemerintahan, dalam sistem politik juga terjadi penggunaan kekuasaan (power) dan perebutan sumber-sumber kekuasaan. Smith sendiri memahami kekuasaan sebagai pengaruh atas pembuatan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan yang berlangsung secara terus menerus. Konsep lain yang berkaitan dengan politik adalah otoritas (authority), yaitu kekuasaan (formal) yang terlegitimasi.
Dalam pandangan Surbakti (1999:31), politics didefinisikan sebagai “the management of conflict.” Definisi ini didasarkan pada satu anggapan bahwa salah satu tujuan pokok pemerintahan adalah untuk mengatur konflik. Jadi pemerintahan sendiri pada dasarnya diperlukan untuk memberikan jaminan kehidupan yang tentram bagi masayrakatnya, terhindar dari kemungkinan terjadinya konflik diantara individu ataupun kelompok dalam masyarakat. Pengertian ini memang didasarkan pada realitas politik di negara-negara bagian di Amerika.
Untuk bisa mengatur konflik tentu tidak bisa menghindari pentingnya kekuasaan dan otoritas formal. Penguasa yang tidak memiliki kekuasaan tidak akan pernah mampu mengatasi masalah-masalah yang sewaktu-waktu muncul di masyarakat. Konsekuensinya, ia dengan sendirinya akan kehilangan legitimasi dan dianggap tidak berfungsi.
Dalam proses politik, terlihat kemudian posisi penting komunikasi politik terutama sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan. Proses ini berlangsung di semua tingkat masyarakat di setiap tempat yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi di antara individu-individu dengan kelompok-kelompoknya. Sebab dalam kehidupan bernegara, setiap individu memerlukan informasi terutama mengenai kegiatan masing-masing pihak menurut fungsinya. Jadi dalam kerangka fungsi seperti ini, Rush dan Althoff (1997:24) mendefinisikan komunikasi politik sebagai:
Proses di mana informasi politik yang relevan diteruskan dari suatu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik.
Karena itu, kata Budiardjo (1956:38), sistem politik demokrasi selalu mensyaratkan adanya kebebasan pers (freedom of the press) dan kebebasan berbicara (freedom of the speech). Dan fungsi-fungsi ini semua secara timbal balik dimainkan oleh komunikasi politik.
Itulah sebabnya, Susanto (1985:2) mendefinisikan komunikasi politik sebagai:
… komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama.
Kerangka yang diberikan ilmu komunikasi bagi komunikasi politik adalah sebagaimana digambarkan dalam paradigma Laswell: siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa dan dengan akibat apa. Paradigma ini mengklaim bahwa unsur-unsur komunikasi tersebut berlaku dalam setiap proses komunikasi, dan berlaku inheren dalam komunikasi politik. Walaupun dipandang sangat “berbau” mekanistik, dan karenanya berimplikasi simplistik dan linier, penghampiran ini berjasa untuk menelaah komunikasi politik lebih lanjut.
Nimmo (2000:8) melukiskan dengan singkat bahwa politik adalah pembicaraan, atau kegiatan politik adalah berbicara. Politik pada hakekatnya kegiatan orang secara kolektif sangat mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial. Bila orang mengamati konflik, mereka menurunkan makna perselisihan melalui komunikasi. Bila orang menyelesaikan perselisihan mereka, penyelesaian itu adalah hal-hal yang diamati, diinterpretasikan dan dipertukarkan melalui komunikasi.
Pendapat ini diperkuat oleh almond dan Powell yang menempatkan komunikasi politik sebagai suatu fungsi politik, bersama-sama dengan fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi dan rekrutmen yang terdapat dalam suatu sistem politik.
Komunikasi politik merupakan prasyarat yang diperlukan bagi berlangsungya fungsi-fungsi yang lain. Sedangkan Galnoor menyebutkan bahwa komunikasi politik merupakan infrastruktur politik, yakni suatu kombinasi dari berbagai interaksi sosial di mana informasi yang berkaitan dengan usaha bersama dan hubungan kekuasaan masuk ke dalam peredaran (Arifin, 2003:9)
Dari deskripsi di atas, komunikasi politik memusatkan kajiannya kepada materi atau pesan yang berbobot politik yang mencakup di dalamnya masalah kekuasaan dan penempatan pada lembaga-lembaga kekuasaan (lembaga otoritatf). Hal ini bisa diperkuat oleh pendapat Sumarno (1993:3) yang mengajukan formulasi komunikasi politik sebagai suatu proses, prosedur dan kegiatan membentuk sikap dan perilaku politik yang terintegrasi dalam suatu sistem politik. Dalam ungkapan yang lebih terbuka komunikasi politik menyangkut hal-hal sebagai berikut: (1) disampaikan oleh komunikator politik, (2) pesannya berbobot politik yang menyangkut kekuasaan dan negara, (3) terintegrasi dalam sistem politik



B. Unsur-Unsur Komunikasi Politik
Dalam komunikasi politik, sebagaimana halnya komunikasi, terdapat tiga unsur penting yang selalu tampak dalam setiap komunikasi, yakni: sumber informasi, saluran (media), dan penerima informasi (audience). Sumber informasi bisa berasal dari seseorang atau instansi yang mempunyai data dan bahan informasi (pemberitaan, wacana, atau gagasan) untuk disebarkan kepadaa masyarakat luas. Saluran adalah media yang digunakan oleh pemyampai sumber untuk kegiatan penyampaian pesan (pemberitaan, wacana, gagasan), berupa media interpersonal yang digunakan secara tatap muka maupun media massa yang digunakan untuk khalayak umum. Adapun audience adalah orang atau kelompok dan masyarakat yang menjadi sasaran informasi atau pihak yang diterpa informasi.

SUMBER-SUMBER
http://id.shvoong.com
http://jurnalistikuisgd.wordpress.com
http://kompol.wordpress.com
http://massofa.wordpress.com
http://miftachr.blog.uns.ac.id
http://setabasri01.blogspot.com
Said,Dzulkiah Moh dan A.A. Said Gatara. Sosiologi Politik, Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian.C.V Pustaka Setia:2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar